Di dalam dunia Twitter, biasanya ada kebanggaan tersendiri memiliki follower yang banyak. Bagaimana tidak. Semakin banyak yang mem-follow Anda, itu artinya semakin banyak orang ingin mengetahui apa yang Anda kicaukan. Semakin banyak orang ingin tahu apa yang Anda kicaukan itu artinya Anda memiliki banyak sekali fans bukan?
Tetapi tahukah Anda kalau urusan follow mem-follow ini, telah memasuki dalam dunia ranah bisnis dan bahkan politik? Berikut ini merupakan kejadian di dunia Internet yang menyangkut masalah follower.
Satu Follower Bernilai USD 2.50
Noah Kravitz dulunya merupakan seorang kontributor PhoneDog, sebuah Web berita seputar ponsel. Selama bekerja di situ dia juga bertanggung jawab untuk tweet dengan nama @Phonedog_Noah. Belakangan dia berhenti dari perusahaan Phonedog tetapi membawa serta akun @Phonedog_Noah dengan mengubah nama akun menjadi @noahkravitz. Delapan bulan kemudian, tepatnya 15 Juli 2011, Phonedog menuntut Kravitz atas pencurian follower, yang diklaim Phonedog sebagai pelanggannya. Menurut Phonedog, mereka telah mengeluarkan budget yang cukup besar untuk promosi akun Twitter mereka guna menggalang follower.
Kravitz dituntut Phonedog atas kepemilikan follower, dengan biaya satu follower senilai USD 2.50 dikali lama pemakaian. Karena sebelum dia keluar dari Phonedog, akunnya memiliki 17.000 follower dan dia telah memiliki follower sebanyak itu selama 8 bulan, maka total yang harus dibayarnya adalah USD 2.50 x 17.000 x 8 = USD 340.000. Nilai itu setara dengan Rp 3 miliar lebih!
Calon Ketua Partai Republic US Diduga Membeli Follower
Newt Gingrich salah satu kandidat ketua Partai Republic memiliki akun twitter dengan follower sampai penulisan ini dikeluarkan sebanyak 1,4 juta orang. Sebagai bagian dari kampanye untuk mendapat dukungan dalam pemilu, Gingrich sering membangga-banggakan jumlah follower-nya. Tetapi sebuah perusahaan search engine PeekYou membeberkan kepada blog Gawker, sebuah Web gosip, bahwa hampir 92% follower Gingrich adalah palsu.
Menurut Josh Mackey, sang general business manager dari PeekYou, “Mayoritas follower dia kalau bukan orang yang betul-betul anonim, yang tidak pernah muncul di Web, maka adalah spambots… Ketika kami melihat [hasilnya], kami sebenarnya memastikan orang QA kami mengecek angkanya selama dua hari untuk doublecheck.”
Tidak pernah terbukti terang-terangan apakah Gingrich benar-benar membeli follower atau tidak. Tetapi yang jelas dengan angka jumlah akun follower yang kebanyakan tidak aktif atau spambots, maka memang patut dipertanyakan.
Menurut penulis, follower Twitter memang sudah hampir menjadi komoditas. Sekarang saja, Anda pastinya tidak asing lagi dengan adanya tren jual beli follower (entah follower manusia asli atau bodong). Tetapi memang demikianlah tujuan orang terutama dari kalangan pengusaha ataupun politik yang memiliki akun Twitter. Target utama mereka tweet tentunya demi marketing ataupun mendapat popularitas bukan? Dan karena follower adalah faktor terpenting menentukan prestise seseorang dalam Twitter tentu saja harus dipergunakan segala cara untuk mendapatkannya. Penulis merasa perkembangan seperti demikian cepat lambat juga akan merambat ke jejaring sosial lainnya.
Tetapi tenang saja, sebagai orang awam, kita tidak akan terlalu berdampak atas hal ini. Selama tidak pernah terlibat dalam jumlah follower yang besar, kita tidak lebih sekedar penonton yang menyaksikan pertunjukan menggalang follower. Bagaimana pendapat Anda? Pantaskah follower dianggap sebagai komoditas?
waow…ternyata Twitter sampek segitunya ya
Begitulah. Bagi bisnis follower adalah customer. Bagi politik follower adalah massa pendukung. Jadinya kadan memang pada menempuh segala cara untuk mendapatkan follower.
[...] salah satu aspek yang sangat berperan penting dalam melakukan penyebaran informasi. Sampai terdapat kasus yang mempermasalahnya jumlah follower ke meja hijau sehingga orang-orang berlomba untuk mengumpulkan jumlah follower agar tujuannya tercapai.Salah satu [...]